Era digital yang semakin menunjukkan keemasannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, banyak sekali kita saksikan kalangan ummat yang tidak mampu untuk menguasai dirinya sendiri, karena Kecanggihan teknologi yang banyak melahirkan berbagai pernak-pernik keduniawian yang akan menyeret seorang hamba kedalam jurang kehinaan jika tidak dibarengi dengan sikap muhasabah. Hal ini diakibatkan karena ketidak mampuan diri dalam memanfaatkan rahmat Tuhan yang ada pada dirinya. Sehingga seorang hamba lebih memperturutkan hawa nafsu dan hasrat keduniawiannya dalam bersikap dan berprilaku.
Padahal seiring dengan berjalannya waktu, kesalahan hawa nafsu dan hasrat keduniawiannya yang tidak dievaluasi akan semakin menumpuk dan menjadi penghalang antara hamba tersebut dengan Tuhannya. Oleh karena itu, seorang hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan mesti mempunyai waktu khusus untuk memeriksa dan menilai apa yang telah dilakukan selama sehari penuh. Pekerjaan memeriksa dan menilai diri dalam Islam disebut dengan muhasabah. Sedangkan menurut imam Al-Ghazali dalam karyanya Ihya Ulum al-Din إحياء علوم الدين konsep muhasabah merupakan perhitungan seorang hamba terhadap setiap gerak gerik dan diam yang telah dilaluinya, seperti seorang pedagang yang memperhitingkan modal, untung dan rugi. Modal hamba pada agama adalah ibadah-ibadah fardhu, keuntungannya adalah ibadah-ibadah sunnah, dan kerugiannya pada perbuatan-perbuatan maksiat. Artinya, seorang hamba harus selalu cermat dan mawas diri dengan memeriksa lagi segala amal perbuatannya. Karena itu, menurut Al-Ghazali, muhasabah diri dapat meringankan beban kesedihan manusia pada hari kiamat nanti. Jika diringkas setidaknya ada tiga manfaat muhasabah diri, yaitu: Pertama; Memperbaiki hubungan manusia dengan Allah. kedua; Memperbaiki hubungan manusia dengan sesama makhluk. Ketiga; Mengetahui kesalahan sendiri sehingga bisa segera diperbaiki.
Maka untuk menyempurnakan ibadahnya, seorang hamba hendaknya selalu mengadakan perhitungan bagi diri sendiri. Jika ibadah-ibadah fardhu telah dilaksanakan dengan baik, hendaknya seorang hamba senantiasa bersyukur kepada Allah. Akan tetapi bila terdapat kekurangan, maka harus segera diperbaiki dengan ibadah-ibadah sunnah. Namun, jika seorang hamba melakukan perbuatan maksiat, maka hendaknya ia sibuk berpikir akan siksa dan azabnya, serta melakukan taubatan nasuha. Adapun keutamaan muhasabah dijelaskan dalam firman Allah dan Hadits Rasulullah yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh Allah maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Hasyr : 18).
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
Artinya: “Dari Syadad bin Aus r.a, dari Rasulullah SAW, bahwa beliau berkata, Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah. (HR. Imam Turmudzi)
Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah memberi perintah untuk bertakwa kepada-Nya, yang meliputi mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Perintah ini diikuti dengan seruan untuk melakukan muhasabah terhadap diri sendiri serta mempersiapkan amal kebaikan sebelum terjadinya hari kebangkitan. Adapun perintah kepada ketakwaan yang kedua adalah sebagai pengukuhan makna. Pada akhir ayat Allah menegaskan bahwasanya Ia mengetahui seluruh tingkah laku dan kondisi hati, tidaklah membuat kabur atas-Nya hal-hal samar yang bersumber dari makhluk, serta tidaklah lenyap dari pantauan-Nya segala urusan.
Bagiaman para sahabat bermuhasabah? Abu Bakar dan para sahabat Rasulullah lainnya benar-benar serius dalam menghisab dirinya. Hal tersebut lantaran nasihat melalui hadits Rasulullah yang Artinya; Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya. Tentang masa mudanya, digunakan untuk apa. Tentang hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dihabiskan. Dan tentang ilmunya, apa yang dilakukan dengan ilmunya itu”. (HR. Tirmidzi).
Umar bin Khattab sering mengingatkan umat Islam untuk selalu melakukan muhasabah diri melalui pesannya yang terkenal: Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia”.
Umar bin Khattab menganggap muhasabah lebih dini akan menguntungkan pada kehidupan kelak. Mengapa? Karena dengan mengevaluasi diri sendiri, manusia akan mengenali kekurangannya yang diharapkan dapat diperbaiki sesegera mungkin. Kondisi ini akan meminimalkan kesalahan sehingga tanggung jawab dalam kehidupan di akhirat nanti menjadi sangat ringan. Umar pernah menghukumi dirinya dengan mengeluarkan sedekah berupa tanah yang harganya 200.000 dirham karena luput dari shalat Ashar secara berjamaah. Kebiasaan ini berlanjut kepada anaknya, Ibnu Umar. Pernah suatu kali luput dari sholat berjamaah, Ia mengganti dengan menghidupkan malam seluruhnya.